Kata kecepatan sudah tidak asing lagi bagi kita. Sering kita dengar di mana-mana. Kecepatan dipakai untuk mengekspresikan seberapa cepat sesuatu itu bergerak. Bila kencang, dikatakan kecepatannya tinggi. Sebaliknya, bila lambat, dikatakan kecepatannya rendah. Tetapi, bagaimana sebenarnya kita menghitung kecepatan itu?
Bila mendengar kata kecepatan, saya selalu teringat dengan joke-nya Richard Feynman di buku Feynman’s Lecture on Physics. Suatu saat, sebuah mobil dihentikan oleh polisi karena mengebut. Mobil tersebut dikendarai oleh seorang Nyonya. Polisi itu berkata, “Nyonya, Anda mengendarai mobil sampai 60 mil per jam!” Nyonya tersebut berkata, “Itu tidak mungkin, Pak, saya baru menyetir selama 7 menit. Ini konyol, bagaimana saya bisa bergerak 60 mil per jam ketika saya belum menyetir selama satu jam?” 🙂
Bagaimana jawaban kita kalau kita jadi polisi tersebut? Tentu saja, jika kita menjadi polisi beneran, tidak perlu pusing-pusing, langsung menjawab, “Katakan itu pada hakim, Nyonya! :D.
Tetapi andaikan kita jadi polisi yang sabar dan berusaha menjelaskan kepada Nyonya itu. Kita berkata, “Maksud saya Nyonya, seperti ini: Jika Anda terus mengendarai mobil dengan cara yang sama seperti saat tadi, satu jam kemudian Anda akan menempuh 60 mil.” Nyonya tersebut bisa berkata,”Hmm, kaki saya lepas dari gas dan mobil bergerak melambat, jadi jika saya bergerak seperti itu saya tidak akan sampai 60 mil.” Atau bisa juga berkata, “Jika mobil saya terus bergerak seperti mobil saya saat tadi, saya akan menabrak tembok yang ada di depan itu!”. Memang tidak mudah mengatakan apa yang kita maksud :).
Kalau begini, cara apa lagi yang bisa kita gunakan untuk menjelaskan ide kecepatan kepada si Nyonya itu. Kita bisa saja menggunakan alat yang mengukur kecepatan untuk menjelaskannya, yaitu speedometer. “Lihat, Nyonya, speedometer anda terbaca 60.” Kemudian Nyonya tersebut bisa berkata, “Speedometer saya rusak!” Kita yakin ada sesuatu yang dihitung sebelum membuat speedometer tersebut. Bila kita hanya menggunakan alatnya, penjelasannya tidak cukup. Jadi, kita harus menjelaskan ide yang mendasari pembuatan speedometer.
Kemudian kita berkata,”Ya, tentu saja, sebelum satu jam, Anda akan menabrak tembok itu, tetapi jika Anda bergerak satu detik, Anda akan menempuh 88 kaki. Nyonya, Anda bergerak 88 kaki per detik, dan jika Anda terus bergerak seperti itu, pada detik berikutnya jaraknya bertambah 88 kaki, dan tembok di depan sana itu masih jauh.” Nyonya itu lantas berkata, “Ya, tetapi tidak ada hukum yang melarang 88 kaki per detik! Hanya ada hukum yang melarang 60 mil per jam.” Kita menjawabnya lagi dengan senyum, “Tetapi, Nyonya, itu sama saja.”
Tampaknya sekarang kita ada di jalur yang tepat. Jika Nyonya itu bergerak 1/1000 jam lagi, ia akan menempuh tambahan jarak 1/1000 dari 60 mil. Dengan kata lain, ia tidak harus menyetir mobil selama sejam penuh. Untuk saat tertentu, mobil yang dikendarainya bergerak dengan kecepatan itu. Artinya, jika ia terus bergerak lagi sebentar saja, tambahan jarak tempuhnya juga akan sama dengan sebuah mobil yang bergerak dengan kecepatan tetap 60 mil per jam.
Jadi, kecepatan didapat dengan membagi jarak dengan interval waktu yang diperlukan untuk menempuhnya. Tetapi interval waktunya harus dibuat sekecil mungkin (Limit). Semakin kecil semakin bagus karena beberapa perubahan bisa terjadi dalam interval tersebut. Jika kita mengambil interval satu detik untuk mobil, hasilnya lumayan bagus karena tidak banyak perubahan kecepatan dalam interval satu detik tersebut. Tetapi untuk benda yang jatuh, hasilnya tidak akan akurat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecepatan yang semakin akurat, kita harus mengambil interval waktu yang semakin kecil dan kecil. Hasil akan lebih bagus, misalnya, dengan mengambil interval waktu seperjuta detik. Kemudian, kecepatan didapat dari membagi jarak yang ditempuh selama seperjuta detik dengan seperjuta detik. Ini akan memberikan hasil jarak per detik. Itulah apa yang kita maksud dengan kecepatan. Semoga Nyonya tersebut dapat menerima penjelasan ini … 😀
wow….tulisannya keren banget.sgt inspiratif..asyik…muach
Thanks sudah mampir 🙂
Nice bro. Kalo diindonesia jangan diterapin ke polisi. kena pasal berlapis “perbuatan tidak menyenangkan” ke polisi ntar huahahaha.